Thursday, December 16, 2010

SISTEM PROYEKSI POLIEDER

di kutip dari buku Dosen Proyeksi Peta UGM
Ir.Rochmad Muryamto,M.Eng.Sc
email rochmad_mury@ugm.ac.id


Ciri-ciri yang penting pada proyeksi polieder :
1. Merupakan proyeksi kerucut konform
2. Bidang kerucut menyinggung bola bumi (tangent) pada salah satu paralel (dinamakan paralel tengah) yang diproyeksikan equidistant ( merupakan paralel standar dengan faktor skala k = 1).
3. Bumi dibagi dalam jalur-jalur yang dibatasi oleh dua garis paralel dengan beda lintang 20' (jalur selebar 20' diproyeksikan pada kerucut tersendiri). Kerucut-kerucut tersebut menyinggung bola bumi setiap lintang = +/- 10' , +/- 30' , +/- 50'.
4. Jalur selebar 20' dibagi menjadi bagian-bagian derajat yang berukuran 20' X 20', yang dinamakan Satu Lembar Bagian Derajat (1 LBD).
5. Meridian tergambar sebagai garis-garis lurus yang konvergent ke arah kutub. Paralel tergambar sebagai lingkaran-lingkaran yng konsentris.
6. Setiap Lembar Bagian Derajat mempunyai sistem Koordinat sendiri, yaitu :
- - Sumbu X : Paralel Tengah
- Sumbu Y : Meridian Tengah
- Titik Nol : Perpotongan meridian dan paralel tengah, disebut pusat LBD.
- Absis X : Positif, di sebelah Timur Meridian Tengah
- Ordinat Y : Positif, di sebelah Utara Paralel Tengah

SISTEM PROYEKSI MERCATOR

di kutip dari buku Dosen Proyeksi Peta UGM
Ir.Rochmad Muryamto,M.Eng.Sc
email rochmad_mury@ugm.ac.id


Ciri-ciri yang penting pada proyeksi mercator :
1. Merupakan proyeksi silinder normal konform.
2. Bidang silinder menyinggung bola bumi (tangent) pada ekuator yang diproyeksikan secara equidistant (mempertahankan jarak), sehingga faktor skala ekuator (k) = 1. Semakin jauh dari ekuator, harga k semakin membesar.
3. Meridian tergambar sebagai garis-garis lurus yang sejajar dan berjarak sama, sehingga pada proyeksi mercator tidak terdapat konvergensi meridian.
4. Paralel yang tergambar sebagai garis lurus yang berjarak tidak sama dan tegak lurus meridian. Semakin jauh dari ekuator jarak antara paralel semakin besar.
5. Seluruh wilayah Indonesia dapat dipetakan dalam suatu sitem koordinat, yaitu :
- Sumbu X : Ekuator
- Sumbu Y : Meridian Jakarta (bujur jakarta = 106 derajat 48 menit 27,79 detik timur Greenwich)
- Titik Nol : Perpotongan meridian Jakarta dengan Ekuator
- Absis X : Positif, di sebelah Timur Jakarta
- Ordinat Y : Positif, di sebelah Utara Jakarta

Saturday, December 11, 2010

Penggunaan Total Stasion dalam Pengukuran Terrestris

Penggunaan Total Station dalam Pengukuran Terrestris
1.Survey pendahuluan
2.Pembuatan Sketsa pada area yang akan dipetakan
3.Penentuan kode titik dan nomor titik
4.Desain lokasi titik kontrol pemetaan
5.Pendefinisian titik kontrol pemetaan (TBM)
6.Pengukuran detail/objects yang akan dipetakan
7.Down-load data hasil pengukuran
8.Editing dan lay-outing peta hasil

1.Survey pendahuluan
*Tahap ini merupakan tahap pengenalan area sebelum area tersebut diukur atau dipetakan.
*Survey pendahuluan dilakukan dengan harapan “Surveyor” bisa merencanakan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi kemungkinan kendala yang akan terjadi pada saat pengukuran.
*Melalui pengenalan lapangan ini, diharapkan “Surveyor” bisa menentukan strategi yang tepat dalam proses pengukuran.
2.Pembuatan Sketsa pada area yang akan dipetakan
*Pembuatan sketsa lapangan merupakan suatu pekerjaan yang sangat penting dalam pengukuran terestris dengan menggunakan Total Station.
*Pembuatan sket ini dilakukan pada saat survei pendahuluan.
*Diharapkan dengan survei pendahuluan dan pebuatan sket ini surveyor benar-benar telah mengenal dan menguasai medan yang akan diukurnya.
*Sket area yang dipetakan sebetulnya sangat diperlukan nanti ketika proses penggambaran (baik penggambaran manuskrip, maupun digital).
*Sket yang digambar haruslah dibuat sedemikan rupa sehingga bisa ”menyerupai” atau ”mendekati” kondisi lapangan yang sebenarnya (dengan penskalaan tertentu).
*Dengan adanya sket lapangan ini, bisa diidentifikasi posisi relatif titik terhadap titik yang lainnya, atau posisi relatif titik terhadap obyek, atau posisi relatif obyek terhadap obyek yang lainnya.
3.Penentuan kode titik dan nomor titik
*Pembuatan sket (sketching) pada daerah yang akan dipetakan adalah sesuatu yang mutlak dikerjakan dalam pengukuran dengan menggunakan TS.
*Sketching ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam manajemen data pengukuran, dan proses penggambaran.
*Menterjemahkan sket kepada sesama manusia sangatlah mudah, tetapi tidak demikian dengan TS.
*Pemberian kode dan nomor pada detil, menjadi solusi untuk mengorganisasi data hasil ukuran pada alat TS
*Pengkodean merupakan kunci dari pengukuran dan penggambaran secara digital baik menggunakan TS, RTK, atau pun menggunakan teodolit biasa yang kemudian data hasil pengukurannya dikonversi menjadi data dalam format digital.
*Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penomoran dan pengkodean detil, yaitu :
-setiap objek memiliki kode yang unik (stn, jl, jl12, bgn23, dll)
-setiap titik detil pada suatu objek memiliki nomer yang unik (1, 2, 12, 124, 1008, 1201, dll)
-pada alat-alat tertentu nomor titik selama pengukuran harus unik, artinya tdk boleh ada redundancy dalam Point Number
-penggambaran objek didasarkan pada pencarian kode yang sama dan nomor titik yang berurutan sebagaimana yang ada pada sketsa
4.Desain lokasi titik kontrol pemetaan
*Sebagaimana pengukuran terestris pada umumnya, penempatan titik kontrol pemetaan haruslah memenuhi aturan sebagai berikut:
-Titik kontrol dipasang pada lokasi yang aman dari gangguan, dan tidak mengganggu atau membahayakan.
-Titik kontrol harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga posisi titik kontrol sebelum dan sesudahnya adalah jelas terlihat dan tidak ada penghalang.
-Jaring titik kontrol yang dipakai haruslah memiliki ”strength of figure” yang bagus, terlebih jika pendefinisian koordinatnya adalah dengan “adjustment” data pengukuran sudut dan jarak.
-Titik kontrol haruslah dipasang pada tempat yang mampu mengikat banyak detil di sekitarnya.
*Setelah desain selesai, selanjutnya pada tempat tersebut dipasang patok sebagai tanda dimana titik pemetaan itu ada.
*Patok ini bisa bersifat permanen atau sementara tergantung pada tujuan dari pemetaan yang akan dilakukan
5.Pendefinisian titik kontrol pemetaan (TBM)
*Pengukuran dalam rangka pendefinisian koordinat titik kontrol pemetaan dilakukan dengan pengukuran sudut dan jarak.
*Perhitungan koordinat dilakukan dengan mengikuti beberapa prinsip pengukuran, diantaranya:
-Adjustment (triangulasi, trilaterasi, poligon tertutup, poligon terbuka terikat sempurna, leveling)
-Real-time coordinate
*Beberapa langkah yang perlu diperhatian dalam pengukuran titik kontrol pemetaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Diperlukan minimal harus ada dua titik kontrol yang sudah diketahui koordinatnya atau satu titik kontrol yang diketahui koordinatnya dan azimut sisi ke arah titik kontrol yang lain harus di ketahui (atau diukur).
b. Dirikan TS pada titik yang diketahui koordinatnya (”Occupied Point atau STN”), selanjutnya lakukan seting sumbu I vertikal ( “centering”)
c. Dirikan prisma pada titik yang dijadikan sebagai acuan (”Back-Sight Point / BS”)  titik lain yang diketahui koordinat atau azimutnya dari titik tempat alat berdiri. Demikian juga untuk titik yang akan dijadikan sebagai titik kontrol pemetaan berikutnya (”Fore-Sight Point / FS”)
d.Hidupkan Total Station dan buat file kerja (“job file”) pada alat Total Station.
e.Masukkan koordinat titik STN (X, Y, Z, atau E, N, h) pada TS. Masukkan juga tinggi alat dari titik/patok, serta jangan lupa untuk mendefinisikan kode titik dan nomor titik untuk STN tersebut.
f.Lakukan seting untuk orientasi pengukurannya, yaitu dengan memasukkan koordinat titik BS atau azimuth kearah titik BS. perlu diingat pula untuk memasukkan tinggi target, kode titik, dan nomor titik.
g.Lakukan pengukuran koordinat titik FS, jangan lupa untuk mendefinisikan tinggi reflector, kode titik, dan nomor titik.

h.Apabila langkah a) s.d. g) telah selesai dilakukan, pindahkan TS pada titik berikutnya (titik FS).

i.Ulangi langkah b) s.d. g) pada setting selanjutnya, dimana:
-titik STN yang tadi akan menjadi titik BS pada pengukuran sekarang, dan
-titik FS yang tadi akan menjadi titik STN pada pengukuran sekarang.
-Inputting koordinat titik BS dan tititk STN bisa dilakukan dengan memanggil data pengukuran sebelumnya di memori TS
6.Pengukuran detail/objects yang akan dipetakan
*Secara teknis pengukuran detil yang akan dipetakan dengan pengukuran titik kontrol pemetaan adalah sama persis,
*Yang membedakan hanyalah tinggi target, pengkodean titik, serta penomoran titik saja
7.Down-load data hasil pengukuran
*Data hasil pengukuran TS belum memiliki format yang standar, sehingga masing-masing “brand” memiliki format tertentu yang hanya bisa dikenali oleh software “bawaan” nya.
*Data hasil down-load bisa berupa “daftar koordinat” atau bisa juga berupa “data ukuran sudut dan jarak”
*Untuk mengatasi hal ini, biasanya hasil download kemudian dikonversi ke dalam format yang umum digunakan, misal: *.dxf, *.csv, *.txt, dll
8.Editing dan lay-outing peta hasil
*Editing data hasil pengukuran meliputi:
-Penggambaran garis-garis tepi detil
-Interpolasi garis-garis kontur
*Lay-outing Peta Hasil meliputi:
-Penyusunan obyek terukur dalam layer-layer menurut kesamaan tertentu
-Penambahan informasi tepi peta, dan beberapa informasi penunjang
-Penyajian gambar hasil pengukuran menjadi sebuah peta (2D atau 3D), model 3D, Sistem Informasi Spasial

Detail measurement by GNSS and by TS

Detail measurement by GNSS

*Metode DGPS
*Metode rapid statik
*Metode Real Time Kinematik ( RTK )
-Koreksi via radio
-Koreksi via IP/internet
*Metode Real Time Kinematik ( RTK ) yaitu penentuan posisi titik-titik yang bergerak dengan minimal menggunakan 2 receiver GPS (base dan rover).
*Data yang diperoleh secara langsung akan dikoreksi ( Koreksi Diferensial ).
*Koreksi diferensial, yaitu koreksi yang dapat dieliminasi dan direduksi yang dikirimkan dengan menggunakan sistem komunikasi data tertentu secara real time.
*Koreksi diferensial meliputi :
- Koreksi jam satelit
- Koreksi jam receiver
- Koreksi kesalahan bias ionosfer dan troposfer

Detail measurement by TS
*Total Station (TS) merupakan sebuah alat elektronik yang bisa digunakan untuk mengukur sudut dan jarak, serta dilengkapi kemampuan perhitungan koordinat dan beberapa program aplikasi pengukuran dan pemetaan.

*Dengan kata lain: Total Station (TS) merupakan gabungan dari Theodolite dan Electronic Distance Meter (EDM) yang dilengkapi dengan micro-processor dan data-logger (storage).

Komponen TS
-Unit pengukur sudut elektronik (theodolite)
-Unit pengukur jarak elektronik (EDM)
-Unit pengumpul dan penyimpan data
-Unit pemroses data
-Prisma

Ketelitian Total Station
1. Ketelitian pada alat Total Station terdiri atas:
- Ketelitian ukuran sudut
Ketelitian ini biasanya selalu dituliskan pada nomor seri alat, besarnya berkisar pada nilai 1”, 2”, 3”, 5”, 6”, 7”, atau 10”
- Angka bacaan yang ada pada layar display, tidak menunjukkan ketelitian tersebut, karena alat juga mampu untuk menginterpolasi sampai dengan bacaan yang diinginkan (1”, 5” atau 10”)
Misal: DTM-352 (ketelitian 5”)
TCR-705 (ketelitian 5”)
NTS-325 (ketelitian 5”)
Set-610 (ketelitian 6”)
Trimbel M3 (ketelitian 3”)
GTS-229 (ketelitian 10”)


2. Ketelitian ukuran jarak
Tidak sebagaimana ketelitian sudut yang “disertakan” dalam nomor seri alat, ketelitian ini hanya diketahui dari “manual” alat.

Ketelitian ini menunjukkan kesalahan yang diijinkan selama proses pengukuran jarak di lapangan

Biasanya dinyatakan dalam amm + (bppm * Jarak)
misal: 2mm+3ppm*Jarak > 5mm dalam 1Km
2mm+2ppm*Jarak > 4mm dalam 1Km
10mm+10ppm*Jarak > 20mm dalam 1Km > prism-less

Jangkauan Pengukuran TS


Jangkauan pengukuran TS sangat dipengaruhi oleh:
- kekuatan GEM yang dipakai dan

- kemampuan target dalam memantulkan sinyal GEM.
+ Mini prisma > s.d. 1 Km
+ 1 prisma > s.d. 3 Km
+ 3 prisma > s.d. 4 Km
+ 9 prisma > s.d. 5 Km
+ Tanpa prisma > s.d 200-300 meter
untuk brand tertentu s.d. 1.2 Km

Pengukuran Titik Kontrol Pemetaan

Pengukuran Titik Kontrol Pemetaan


Ada 3 cara yang bisa dilakukan dalam pengukuran titik kontrol pemetaan dengan menggunakan pita ukur:
-Membuat rangkaian segitiga (jaring segitiga)
-Membuat garis basis
-Membuat garis pengikat


Pengukuran detil


Pada prinsipnya, pengukuran detil dapat ditentukan dari titik kerangka peta, dan dari titik pada sisi kerangka peta (garis ukur).
Secara umum ada tiga cara yang bisa digunakan:
- Penyikuan
Dengan prisma
Dengan pita ukur
- Pengikatan
Pada titik di sisi poligon
Pada titik ikat pemetaan
- Interpolasi

Detil Measurement

DETAIL MEASUREMENT


Peta merupakan penyajian gambaran objek atau fenomena (kondisi real) yang ada di permukaan bumi yang diproyeksikan pada bidang datar, dengan skala yang tertentu.
Untuk area yang luas, maka kelengkungan bumi harus diperhatikan, untuk itu diperlukan sistem proyeksi.
Sistem proyeksi akan “memaksa” bumi yang kondisinya berupa ellipsoid yang tidak teratur itu, menjadi sebuah bidang datar.
Tetapi untuk area yang hanya memiliki cakupan sempit, bumi bisa diasumsikan sebagai bidang datar.
Untuk dapat melakukan penggambaran objek atau fenomena diatas permukaan bumi, maka mutlak diperlukan pengukuran lapangan.
Pengukuran dilakukan dengan mempertimbangkan skala penyajian, yang juga menunjukkan tingkat kedetilan peta

Jenis-jenis Peta
Planimetric Maps
Hypsometric Maps
Topographic Maps

Planimetric Maps
- Hanya menyajikan kenampakan posisi horisontal dari objek
- Tidak menampilkan informasi dan kondisi topografisnya
- Menampilkan jarak-jarak horisontal yang sangat akurat
- Penyajiannya hanya pada bidang datar

Hypsometric Maps

- Menyajikan kondisi landscape atau relief suatu area pada permukaan bumi
- Biasanya disajikan dalam bentuk: Contours, Shading, Hachures, 3-D Grids

Topographic Maps
Merupakan gabungan dari elemen Planimetric and Hypsometric maps

Misleading and Confusing
1. Cakupan area sempit - skala besar - ketelitian tinggi - nilai toleransi kecil

2. Cakupan area luas - skala kecil - ketelitian rendah - nilai toleransi besar

Detail measurement by Tape
Dalam pengukuran detil dengan menggunakan pita ukur, secara umum tahapan yang dikerjakan sama dengan pengukuran detil dengan menggunakan instrumen yang lain (GPS, TS, Theodolite).
- Survey pendahuluan
- Pembuatan Sketsa area yang akan dipetakan
- Desain titik kontrol pemetaan
- Pengukuran titik kontrol pemetaan
- Pengukuran detil yang akan dipetakan
- Pencatatan data hasil pengukuran
- Editing dan lay-outing peta hasil

Garis Kontur

Garis Kontur

Garis kontur adalah garis yang menunjukkan tempat-tempat yang mempunyai ketinggian yang sama dari suatu bidang perantara. Pada gambar terlihat jenis-jenis dari garis contur.
Kecuraman (steepness)dari suatu lereng bisa ditentukan dari adanya interval contur dan jarak-jarak horizontal antara dua garis contur.

Skala Peta

Skala

Topografik map adalah representasi dari suatu daerah atau bagian dari bumi, jarak dari dua tempat yang diperlihatkan dipeta harus diketahui dengan suatu perbandingan yang tertentu dengan keadaan yang sesungguhnya. Dan perbandingan ini adalah merupakan skala dari peta. Missal :
a. 1 : 1000
b. 1 : 2000
c. 1 : 2500
a. 1 cm dipeta sama dengan 1000 cm dilapangan
b. 1 cm dipeta sama dengan 2000 cm dilapangan
c. 1 cm dipeta sama dengan 2500 cm dilapangan/

Pada pemilihan skala tergantung dari pada maksud dari peta yang dibuat, yaitu tergantung dari ketelitian jarak yang diukur dipeta yang digunakan dilapangan. Skala peta harus terlebih dahulu diketahui sebelum pekerjaan lapangan dikerjakan.

Friday, December 10, 2010

Pembuatan Peta Situasi

PEMBUATAN PETA SITUASI/TRANCHES


Peta Tranches adalah peta yang dilengkapi dengan garis-garis contour yang menunjukkan suatu tempat. Peta yang digunakan untuk pembangunan, proyek – proyek pengairan dan sebagainya, adalah peta tranches tersebut yang diperlengkapi dengan peta situasi, termasuk juga kedudukan bangunan-bangunan permanen. Ataupun bangunan-bangunan yang dibuat oleh manusia. Kita juga bisa mengatan bahwa kedudukan dari bangunan dimaksudkan sebagai planimetris, sedangkan cenfigurasi dari keadaan tanah dimaksudkan sebagai topografi.
Maksud dari pengukuran yang akan kita jalankan itu ialah untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk membuat suatu gambaran dari planimetrik dan topografis. Gambaran yang telah jadi kita namakan topografi map. Peta tersebut menunjukkan sekaligus jarak-jarak horizontal dan vertical dari suatu datum.
Dalam persiapan pembuatan peta topografi, kita perlikan pengukuran-pengukuran dilapangan termasuk penentuan titik-titik tetap, pekerjaan hitungan dan pengambaran.

Dalam pembuatan peta situasi ini memerlukan beberapa unsur penting. Skala, garis kontur, Judul Peta, Grid, dll

Friday, June 11, 2010

Jasa Para Blogger

Sedikit melenceng dari tema blog ini, membahas kehadiran para penulis blogger. Dengan semakin banyaknya para blogger di Indonesia, akan semakin membuat banyak kemajuan bagi Indonesia. Para blogger memberikan sejumlah informasi yang terbaru dan terpercaya, sehingga memudahkan para pencari informasi dalam memperoleh apa yang dicari. Selain itu para blogger juga akan terus bekerjasama satu sama lain demi kemajuan bangsa kita bangsa Indonesia. Sekilas dari penulis.

Sunday, June 6, 2010

GENERALISASI PETA

GENERALISASI PETA

Generalisasi peta hanya terjadi pada peta garis, ketika kita membuat peta turunan.
Peta turunan adalah Peta yang diturunkan dengan skala sama atau lebih kecil.

Generalisasi merupakan pemilihan dan penyederhanaan dari penyajian unsur-unsur pada peta dan selalu berhubungan dengan skala dan tujuan peta.
Fungsi Generalisasi adalah untuk mempertahankan kejelasan dari peta.

Macam Generalisasi
1. Generalisasi Geometris
a. Generalisasi Geometris murni
- hanya bentuk geometris dari unsur-unsur yang berubah
b. Generalisasi Geometris Konsep
- misalnya, Klasifikasi jalan, hutan, dan lain sebagainya.
2. Generalisasi Konsep
a. Tidak dilakukan oleh CARTOGRAPHER melainkan oleh orang yang mengetahui tentang obyek
b. Prosesnya = Klasifikasi dan Kombinasi
Contoh Peta Tanah terdiri dari Kombinasi

Generalisasi penting sebab,
- bertambah padatnya isi peta karena Reduksi Peta
- Terbatasnya kemampuan pandang mata, minimal 0,02 mm pada jarak 30 cm dari mata.
- Ukuran minimum
* Obyek penting harus ditonjolkan
* Perbedaan bentuk Harus jelas
* Kemungkinan Reproduksi

Alasan tidak memperlihatkan keseluruhan unsur-unsur dalam peta adalah
1. Peta yang dihasilkan terlalu membingungkan/ribet (over crowded)
2. Sukar dibaca dan dimengerti
3. Sulit menyajikan gambar-gambar yang sesungguhnya (dalam bentuk besaran diPeta, kecuali mewakilinya dengan simbol

NB : Pada peta foto generalisasi hampir tak ada sedangkan pada peta digital ukuran besar kecil tak jadi masalah.

Wednesday, May 26, 2010

PLANE TABLE MAPPING


Pengukuran dan Pemetaan dengan PLANE TABLE

* Prinsip Pengukuran dengan PLANE TABLE
adalah pengukuran secara grafis dimana pengukuran di lapangan dan proses penggambarannya secara simultan.




* Alat ukur Plane Table terdiri atas :
- Kaki tiga (Statif)
- Meja Gambar (Meja ini dapat diputar diatas kaki tiga)
- Badan ukur
meliputi semua perlengkapan untuk menarik garis yang menjadi satu kesatuan dengan teleskop dimulai dari bagian bawah sampai dengan teleskop pada bagian atas.


Syarat-syarat Pengukuran PLANE TABLE
- Pengaturan
1. Centering (pemusatan)
Prinsip sama dengan teodolite
Titik Kerangka Peta (Kerangka Peta) ditanah dan titik Kerangka peta dikertas gambar dimeja gambar harus vertikal.
2. Meja Gambar harus Horisontal
dibantu dengan nivo
3. orientering (terorientasi)



Syarat Pemakaian Plane Table
1. Sumbu mendatar teropong harus horisontal
2. Benang Silang tegak lurus sumbu mendatar
3. Mistar harus lurus
4. Garis Bidik teropong tegak lurus sumbu mendatar
5. Mistar lurus sejajar garis lurus garis bidik
6. Kesalahan indeks lingkaran vertikal sama dengan nol (0)



Syarat - syarat pemakaian Plane Table
1. Sumbu mendatar teropong harus Horisontal
2. Benang silang tegak lurus sumbu mendatar
3. Mistar harus lurus
4. Garis Bidik teropong tegak lurus sumbu mendatar
5. Mistar harus sejajar garis bidik
6. Kesalahan indeks vertikal lingkaran vertikal = 0

Friday, April 16, 2010

UUD Agraria

UUD Agraria Indonesia

UUD Agraria pasal 1-10
UUD Agraria pasal 11-15
UUD Agraria pasal 16-18
UUD Agraria pasal 19
UUD Agraria pasal 20-27
UUD Agraria 28-34
UUD Agraria pasal 35-40
UUD Agraria pasal 41-43
UUD Agraria pasal 44-45
UUD Agraria pasal 46
UUD Agraria pasal 47
UUD Agraria pasal 48
UUD Agraria pasal 49
UUD Agraria pasal 50-51
UUD Agraria pasal 52

TEKHNIK PENGUKURAN DAN PEMETAAN KADASTRAL

Verivikasi data fisik adalah pembuktian pengujian atau pemeriksaan , untuk memperlihatkan kebenaran dan keakuratan dari data fisik dimaksud

Apa yang dimaksud data fisik dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan kadastral ( pengukuran dan pemetaan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah ).

Data Fisik dimaksud , merupakan bagian kegiatan dari Pendaftaran tanah . Yang menerangkan mengenai letak , batas dan luas suatu bidang tanah dan sarusun / satuan rumah susun , termasuk keterangan adanya bangunan / bagian bangunan yang ada diatasnya ( penggunaan ).

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.



AZAS PENDAFTARAN TANAH
( Bab II Pasal 2 PP No.24/1997 )
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.


TUJUAN PENDAFTARAN TANAH
( Bab II Pasal 3 PP No.24/1997 )
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan,
untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

MAKSUD DAN TUJUAN
PENGUKURAN DAN PEMETAAN KADASTRAL

TUJUAN :
Memberikan Kepastian Hukum obyek hak atas tanah, mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah serta dapat direkonstruksi kembali secara cepat.

Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan perbuatan hukum mengenai tanah.

Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

FUNGSI :
Sebagai alat pembuktian yang kuat secara hukum mengenai letak, batas, luas, suatu bidang tanah serta hubungannya dengan pemegang hak atas tanah.




ASAS KONTRADIKTUR DELIMITASI
Pengukuran batas bidang-bidang tanah ditetapkan oleh pejabat publik yang berwenang berdasarkan hasil kesepakatan dalam penunjukkan batas oleh pemilik bidang tanah yang bersangkutan bersama dengan pemilik tanah yang berbatasan.
Penetapan batas bidang tanah dituangkan dalam Gambar Ukur


ASAS PUBLISITAS
Pengujian kebenaran akan hasil pengukuran dan pemetaan tanah melalui lembaga pengumuman yang diumumkan secara langsung dan terbuka kepada masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang beritikad baik


ASAS SPESIALITAS
Bidang tanah yang telah diukur dan dipetakan secara kadastral memenuhi keabsahan hukum mengenai letak, batas, dan luas yang unik diatas permukaan bumi serta dapat direkonstruksikan kembali dilapangan secara tepat

UUD pokok-pokok Agraria

UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

PENJELASAN UMUM
I.Tujuan Undang-undang Pokok Agraria.
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama:
a.karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
b.karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat di- samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c.karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang di- maksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya.
Sungguhpun undang-undang itu formil tiada bedanya dengan undang-undang lainnya yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tetapi mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat didalamnya hanyalah azas-azas serta soal-soal dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya.
Demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-undang Pokok Agraria ialah:
a.meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b.meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c.meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

II.Dasar-Dasar Dari Hukum Agraria Nasional.
(1)Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 1, yang menyatakan, bahwa: "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".
Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia juga.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4 yo pasal 20). Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (pasal 4 yo 16).
Bagaimana kedudukan hak-hak tersebut dalam hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan diuraikan dalam nomor 2 dibawah.
(2)"Azas domein... yang dipergunakan sebagai dasar daripada perundang-undangan agraria yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru.
Azas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan azas dari pada Negara yang merdeka dan modern. Berhubung dengan ini maka azas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan domein", yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874-94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut kembali.
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b.menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
c.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3).
Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II.
Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal mana akan diuraikan lebih lanjut dalam nomor 3 di- bawah ini.
(3)Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa:
"Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan, sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari pasal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.
(4)Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial".
Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis lemah.
(5)Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.
Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus(hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
(6)Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut diatas ditentukan dalam pasal 9 ayat 2, bahwa: "Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya".
Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat kedudukan ekonominya. Maka didalam pasal 26 ayat 1 ditentukan, bahwa: "Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah". Ketentuan inilah yang akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah yang dimaksudkan itu.
Dalam hubungan itu dapat ditunjuk pula pada ketentuan- ketentuan yang dimuat dalam pasal 11 ayat 1, yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2).
Bukan saja usaha swasta, tetapi juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (pasal 13 ayat 3).
(7)Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan- perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut "landreform" atau "agrarian reform" yaitu, bahwa "Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri".
Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (pasal 13 yo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar "freefight", akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de l-'homme par l'homme"). Sebagai mitsal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan didalam Undang-undang No.2 tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N. 1960 - 2).
Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2). Dalam keadaan susunan masyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip. (ayat 3).
(8)Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum ("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.

III.Dasar-Dasar Untuk Mengadakan Kesatuan Dan Kesederhanaan Hukum.
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
(1)Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum-barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
(2)Didalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang- undang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2, bahwa: "Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan". Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
(3)Dengan hapusnya perbedaan antara hukum-adat dan hukum-barat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan terselenggarakan pula.
Sebagai yang telah diterangkan diatas, selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal hak-hak atas tanah, menurut hukum adat sebagai yang disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d sampai dengan g.
Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat 1 huruf b dan c).
Adapun hak-hak yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-undang Pokok Agraria.

IV.Dasar-Dasar Untuk Mengadakan Kepastian Hukum.
Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama sekali.

UUD Pendaftaran Tanah Ketentuan-ketentuan Konversi

KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI

Pasal I
(1)Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2)Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di atas.
(3)Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1), dengan jangka waktu 20 tahun.
(4)Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut di atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(5)Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpahct, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak-hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6)Hak-hak hypotheek, servituu, vruchtengebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna-bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.

Pasal II
(1)Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2)Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna-usaha atau hak guna-bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Pasal III
(1)Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna-usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(2)Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.

Pasal IV
(1)Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria agar haknya diubah menjadi hak guna-usaha.
(2)Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya. tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
(3)Jika pemegang concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.

Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.

Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal VII
(1)Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
(2)Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3)Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.

Pasal VIII
(1)Terhadap hak guna-bangunan tersebut pada pasal I ayat (3)dan (4), pasal II ayat (2) dan V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
(2)Terhadap hak guna-usaha tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat (1) dan (2) pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

KETIGA
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.

KEEMPAT
A.Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada. waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
B.Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

KELIMA
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.


Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 24 September 1960
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUKARNO

Diundangkan,
Pada Tanggal 24 September 1960
SEKRETARIS NEGARA,
Ttd.
TAMZIL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1960 NOMOR 104

UUD Pendaftaran Tanah Ketentuan-ketentuan Peralihan pasal 53-58

BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53
(1)Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.
(2)Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 54
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok, telah menyatakan menolak kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).

Pasal 55
(1)Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2)Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.

Pasal 56
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 57
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No.542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No.190.

Pasal 58
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.

UUD Pendaftaran Tanah Ketentuan Pidana pasal 52

BAB III
KETENTUAN PIDANA

Pasal 52
(1)Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,-
(2)Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26, ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,-.
(3)Tindak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 50-51

Bagian XII
Ketentuan-Ketentuan Lain

Pasal 50
(1)Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang.
(2)Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 51
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 49

Bagian XI
Hak-Hak Tanah Untuk Keperluan Suci dan Sosial

Pasal 49
(1)Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
(2)Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
(3)Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 48

Bagian X
Hak Guna Ruang Angkasa

Pasal 48
(1)Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
(2)Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 47

Bagian IX
Hak Guna Air, Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan

Pasal 47
(1)Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain.
(2)Hak guna-air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 46

Bagian VIII
Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan

Pasal 46
(1)Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 44-45

Bagian VII
Hak Sewa Untuk Bangunan

Pasal 44
(1)Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
(2)Pembayaran uang sewa dapat dilakukan
a.satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b.sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
(3)Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 45
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah:
a.warga-negara Indonesia;
b.orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 41-43

Bagian VI
Hak Pakai

Pasal 41
(1)Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2)Hak pakai dapat diberikan:
a.selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b.dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
(3)Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 42
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a.warga-negara Indonesia;
b.orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 43
(1)Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
(2)Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 35-40

Bagian V
Hak Guna Bangunan

Pasal 35
(1)Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2)Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
(3)Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 36
(1)Yang dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah:
a.warga-negara Indonesia;
b.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2)Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna-bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37
Hak guna-bangunan terjadi:
a.mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah;
b.mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

Pasal 38
(1)Hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2)Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 39
Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 40
Hak guna-bangunan hapus karena:
a.jangka waktunya berakhir;
b.dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.dicabut untuk kepentingan umum;
e.ditelantarkan;
f.tanahnya musnah;
g.ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).

UUD Pendaftaran Tanah pasal 28-34

Bagian IV
Hak Guna Usaha

Pasal 28
(1)Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
(2)Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3)Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 29
(1)Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2)Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3)Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Pasal 30
(1)Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah:
a.warga-negara Indonesia;
b.badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(2)Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna-usaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.

Pasal 32
(1)Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2)Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 33
Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 34
Hak guna-usaha hapus karena:
a.jangka waktunya berakhir;
b.dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.dicabut untuk kepentingan umum;
e.ditelantarkan;
f.tanahnya musnah;
g.ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

UUD Pendaftaran Tanah pasal 20-27

Bagian III
Hak Milik

Pasal 20
(1)Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
(2)Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 21
(1)Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2)Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3)Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4)Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Pasal 22
(1)Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena:
a.penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan;
b.dengan Peraturan Pemerintah;
c.ketentuan Undang-undang.

Pasal 23
(1)Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2)Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 24
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 26
(1)Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Pasal 27
Hak milik hapus bila:
a.tanahnya jatuh kepada negara,
1.karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2.karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3.karena ditelantarkan;
4.karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b.tanahnya musnah.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 19

Bagian II
Pendaftaran Tanah

Pasal 19
(1)Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a.pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b.pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3)Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4)Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 16-18

BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH.

Bagian I
Ketentuan-Ketentuan Umum

Pasal 16
(1)Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
a.hak milik,
b.hak guna-usaha,
c.hak guna-bangunan,
d.hak pakai,
e.hak sewa,
f.hak membuka tanah,
g.hak memungut-hasil hutan,
h.hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
(2)Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
a.hak guna air,
b.hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c.hak guna ruang angkasa.

Pasal 17
(1)Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2)Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.
(3)Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4)Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 11-15

Pasal 11
(1)Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
(2)Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.

Pasal 12
(1)Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
(2)Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.

Pasal 13
(1)Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2)Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3)Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4)Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.

Pasal 14
(1)Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a.untuk keperluan Negara,
b.untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d.untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e.untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
(2)Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
(3)Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

Pasal 15
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

UUD Pendaftaran Tanah pasal 1-10

PERTAMA
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK

Pasal 1
(1)Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2)Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3)Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
(4)Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
(5)Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
(6)Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.

Pasal 2
(1)Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2)Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a.mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3)Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4)Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 4
(1)Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2)Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3)Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Pasal 6
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Pasal 7
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Pasal 8
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.

Pasal 9
(1)Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
(2)Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 10
(1)Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2)Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
(3)Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

UUD Pendaftaran Tanah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b.bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
c.bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
d.bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.

Berpendapat:
a.bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
b.bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya,fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
c.bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar;
d.bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong;
e.bahwa berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut di atas.

Memperhatikan:
Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No.I/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah.

Mengingat:
a.Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;
b.Pasal 33 Undang-undang Dasar;
c.Penetapan Presiden No.1 tahun 1960 (Lembaran-Negara 1960 No.10) tentang Penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-garis besar dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
d.Pasal 5 jo. 20 Undang-undang Dasar.

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG-ROYONG,

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut:
(1)
"Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No.55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No.447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
(2)
a.
"Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No.118);

b.
"Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No.119A;

c.
"Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No.94f;

d.
"Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No.55;

e.
"Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58.
(3)
Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No.29 (Staatsblad 1872 No.117) dan peraturan pelaksanaannya;
(4)
Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini.

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA



UUD Agraria pasal 1-10
UUD Agraria pasal 11-15
UUD Agraria pasal 16-18
UUD Agraria pasal 19
UUD Agraria pasal 20-27
UUD Agraria 28-34
UUD Agraria pasal 35-40
UUD Agraria pasal 41-43
UUD Agraria pasal 44-45
UUD Agraria pasal 46
UUD Agraria pasal 47
UUD Agraria pasal 48
UUD Agraria pasal 49
UUD Agraria pasal 50-51
UUD Agraria pasal 52

Saturday, March 20, 2010

Photogrammetry

Photogrammetry
Photogrammetry is the science of measurement by means of photographs. Photogrammetric surveying is the application of photogrammetry to the operations of finding and delineatingthe conturs,dimensions,positioning ,etc, of parts of the earth’s surface. The principles of photogrametry are applicable to the fields of archeology, architecture,astronomy,ballistic,criminology,geology,hydraulics,radiology,and other sciences, but the gratest Development of the science isi n the field of photogrametric surveying. The realization of photogrametry is the mathematical or graphical analysis of single or overlapping photographs.

As the image of actual objects appears displaced and are of proportionate size according to their distance and relative position within the range of vision of the eye, so do the scale and the position of objects in photographs vary according to their distance and position relative to the camera stadion. Photogrammetric surveying is accomplished by the measurrement of these differences in scale and displacements in position.

Photogrammetry is not a new science, but only recently has the knowledge of photogrammetric surveying become general. It is ascience gradually developer, whose basic principles and mathematical analysis have been known for about one hundred years. Its initial Development was slow because it grew as a Branch of a science of optics and photography and came only White the Development of Aviation .

A clear understanding of the meaning of the expressions used in photogrametric surveying is essential. Following are definitions of some of the more Common terms in current use:
An anaglyph is a picture printed or projected in complementary colors combining the two images of a stereoscopic pair and giving a stereoscopic image when viewed throught spectacles having filters of corresponding compementary colors.
A camera is a Chambers or a box in which the image of eksterior objects are projected upon a sensitized surface. An aerial camera is one specially designed for use in aircraft.

My Favorites

buku tamu

Followers